Oleh: Sultan Syaifullah Mussa
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Dr Djar Wattiheluw
“Jika selalu ada segelintir orang yang berkuasa, maka demokrasi harus dipahami sebagai gerakan yang terus menerus menantang kekuasaan tersebut,”
(Dr. Abdul Wahid Maktub)
Politik mungkin sudah tidak asing lagi di Indonesia. Polemik politik yang bermacam macam sering mejadi daya tarik tersendiri di masyarakat khususnya utuk para kaum muda Indonesia. Kaum milenial sering disebut pula sebagai cikal bakal penurus bangsa. Kaum muda sangat dibutuhkan bagi kemakmuran bangsa karena diharapkan para kaum muda ini mempunyai ide-ide yang kreatif untuk bisa merubah bangsa Indonesia menjadi lebih baik (Kausar, 2023). Namun, sering kali anak muda juga menjadi sasaran empuk bagi para pemain politik baik dikalangan legislatif maupun juga eksekutif. Sikap naif ini hadir atas praduga terhadap anak muda itu sendiri, apatis dan apolitik menjadi sifat yang dinisbatkan kepada tonggak perubahan tersebut.
Padahal, dalam setiap perjalanan bangsa ini eksistensi kaum muda tak dapat dinafikan. Sejarah anak-anak muda adalah sejarah perlawanan dan pembelaan. Sebelum kemerdekaan anak-anak muda Indonesia bangkit menyatukan bangsa dan melawan penjajah serta merebut kemerdekaan. Setelah kemerdekaan, mereka bangkit melawan penguasa tiran dan ditator serta membela rakyat dari penindasan sosial, ekonomi dan politik (AMIN SUDARSONO, 2016). Dalam kaitannya dengan pemilu, anak muda tak ubahnya sosok penjaga demokrasi, ia tak hanya larut dalam proses pemilihan, ataupun sibuk menjadi pendudukung fanatik salah satu paslon, namun juga turut serta dalam memberikan pendidikan politik bagi masyarakat.
Antusiasme anak muda dalam proses partisipasi pemilu ini dapat terlihat dari perhelatan pemilu tahun 2019, cukup tingginya angka pemilih muda menjadikan mereka (anak muda) begitu giat dalam melakukan proses pengawalan baik pra maupun pasca pemilu. Apalagi, dalam pemilu ditahun 2024 ini sesuai dengan data yang dilampirkan oleh KPU RI, pemilih muda yang terdiri dari Milenial dan Gen Z menduduki peringkat teratas dengan total 55 % (August Mellaz, 2023). Tentunya ini menjadi berita gembira sekaligus tantangan bagi kaula muda dalam menata masa depan bangsa Indonesia. Suram dan tidaknya masa depan bangsa ini di tentukan dari sikapnya hari ini.
Partisipasi aktif anak muda dalam mengawal berjalannya pemilu ini menjadi suatu keniscayaan, sebab pemilu bukan hanya momentum elektoral 5 tahunan namun lebih dari pada itu adalah manifestasi kedaulatan rakyat. Tingginya angka pemilih muda meniscayakan kaum muda untuk lebih selektif dan kritis dalam memilih pemimpin. Belajar dari perhelatan pemilu sebelumnya (2014-2019) yang notabene masih ditunggangi oleh para oligarki, dampaknya begitu besar terhadap masa depan bangsa ini, berbagai kebijakan yang timpang dan krisis multidimensi yang menghantam negeri ini hanyalah imbas dari pada pembajakan yang dilakukan segelintir oligarki. Pemilu harus dilihat secara objektif , bukan hanya tentang pertarungan antara para paslon, namun juga pergolakkan antara para oligarki dalam memperoleh keuntungan.
Oligarki diibaratkan sosok penumpang gelap, yang eksistensinya hanya untuk memperoleh modal sebanyak-banyaknya. Ia tidak terlalu peduli dengan siapa yang memimpin, namun memilih pemimpin yang dapat menjadi mitra bagi memuluskan kepentingannya di masa depan. Di atas sudah sempat saya singgung terkait kondisi negeri ini pada herlatan pemilu di tahun 2014-2019 yang sejatinya tak jauh berbeda, terjadi krisis dimana-mana dan penyebabnya hanya satu ‘oligarki’. Eksistensi oligarki krusial untuk disikapi, jika tak ingin mengulangi masa-masa sulam sebagaimana beberapa tahun sebelumnya atau menjadikan pemilu hanya sebatas etalase belaka. Pemimpin bukan hanya dinilai dari kapasistasnya namun juga dari orang disekitarnya, sebagaimana yang disebutkan oleh Niccolo Machiavelli seorang diplomat dan politikus italia “cara pertama untuk memperkirakan kecerdasan seorang penguasa adalah dengan melihat orang-orang di sekelilingnya”.
Melky Nahar dalam riset berjudul Jejaring Oligarki Tambang dan Energi dalam Pemilu, menemukan fakta keterkaitan peserta pemilu dengan para pebisnis yang berpotensi besar merusak lingkungan hidup. Ketiga pasangan yakni Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN), Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (Prabowo-Gibran), dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD punya keterkaitan dengan para oligarki tambang dan energi (Febri Angga Palguna, 2024). Ketiga capres-cawapres, partai pengusung dan tim pemenang terdapat nama-nama yang berlatar belakang pengusaha dan terafiliasi dengan berbagai macam bisnis, salah satunya disektor pertambangan dan energi. Hal ini akan menjadikan hegemoni oligarki dalam politik semacam pemilu ini akan menghasilkan buah pahit bagi
demokrasi. Ia akan dengan mudah mengotak-atik kebijakan dan regulasi, dan pada akhirnya akan dengan mudah menjarah kekayaan alam di tubuh kepulauan Indonesia (Febri Angga Palguna, 2024).
Problematika oligarki diatas harus menjadi prioritas pengawalan anak muda indonesia, sekali lagi anak muda tak boleh hanyut pada hal-hal yang non-substansi, namun harus senantiasa selektif dan kritis dalam memilih pemimpin dan ikut serta berpartisipasi aktif dalam proses pengawalan pemilu 2024. Perhelatan akbar ini akan menjadi momentum bersejarah bagi bangsa ini, akankah bangsa yang besar ini akan sampai pada cita-cita kolektifnya yakni Indonesia emas atau justru yang didapat adalah Indonesia cemas. Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi generasi muda bangsa indonesia, sebab suaranya menjadi penentu masa depan indonesia.